Senin, 13 Agustus 2012

Tabloid Monitor - Tentang Sekwilda dan Bupati



Tabloid Monitor hidup karena Arswendo Atmowiloto. Tapi Tabloid Monitor juga mati karena Arswendo Atmowiloto. Mula-mula Monitor terbit 1972-73, dikelola oleh TVRI. Tapi dia hanya bertahan sampai 24 nomor, lalu istirahat gara-gara oplahnya cuma 10 ribu. Monitor mencoba bangkit lagi pada 1980, tapi kembali terempas.

Kemudian datanglah Arswendo. Di tangan Arswendo, alias Wendo, Monitor melejit menjadi tabloid hiburan yang laris. Empat tahun lalu, nomor perdana dicetak 200 ribu eksemplar, dengan harga Rp 300. Rupanya, tabloid "paling panas di Jakarta" itu berhasil meluncur mulus di tengah persaingan ketat. Berkat sentuhan jurnalistik bergaya lheer ala Arswendo, jadilah Monitor sebagai tabloid seks yang paling ser di Indonesia.

Hanya dalam 10 edisi, Monitor meroket hingga 450 ribu eksemplar. Lalu pada bulan ke-5, menembus angka 640 ribu. Sesudah itu, laju kenaikannya mulai pelan, dan mencapai puncaknya pertengahan tahun lalu, konon 782 ribu eksemplar, berharga eceran Rp 500. Lalu ada tanda-tanda menurun. Arswendo mungkin bisa memaklumi ihwal kejenuhan pasar. Namun, agar tak berlarut-larut, dia katrol tabloidnya dengan peluncuran Monitor Minggu (MM), yang terbit setiap Sabtu pagi. Suatu gebrakan hebat. Belum ada tabloid yang mengisi akhir pekan. Alhasil, MM meluncur berselang-seling dengan Monitor mulai November tahun lalu.

Dari segi penampilan, MM masih tetap perpegang pada pakem Arswendo: apalagi kalau bukan Sekwilda (sekitar wilayah dada), Bupati (buka paha tinggi-tinggi) dan kode buntut. Namun, agaknya, gara-gara kelahiran sang adik, Monitor reguler sempat terganggu oplahnya, turun jadi 600 ribuan. Tapi Wendo boleh tersenyum. MM punya tiras lebih dari 240 ribu eksemplar. Kalau ditotal, toh lebih dari 800 ribu eksemplar seminggu, cukup dekat dengan angka "keramat" Wendo.

Bahwa mayoritas pembaca Monitor adalah kelompok konsumen yang bukan berkantung tebal, itu antara lain bisa tergambar dari peta iklannya. Masalah perbankan, asuransi, komputer, real estate, misalnya, jarang tampil di situ. Yang banyak dipajang di Monitor adalah advertensi obat batuk, obat pusing, sampo, atau iklan media. Petunjuk lain: kolom ramalan kode buntut itu.

Tampaknya, kode buntut, itu hanya salah satu kiat Wendo untuk menjaring pembaca lebih banyak. Tapi kiat yang paling pokok, dan dilakukan Arswendo secara konsisten, adalah mengundang, sensasi lewat paha dan dada. Dia mengakui bahwa jurnalistiknya memang berkiblat pada seks.

Selain gambar-gambar panas, lewat Monitor Wendo juga menjual gosip di kalangan artis. Untuk menggali gosip-gosip itu secara lebih tuntas, dia kerahkan artis-artis juga. Titiek Puspa, Emilia Contessa, dan Grace Simon adalah artis-artis yang pernah dipakai Arswendo. "Mereka dibayar Rp 2 juta sebulan," ujar Bambang Suwondo dari Litbang Gramedia.

Tapi Monitor mati muda. Tahun 1990 karena dianggap menghina agama maka Tabloid monitor dibredel. Dan Arswendo pun dipenjara, lima tahun lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar