Senin, 13 Agustus 2012

Oshin - Pelajaran Tentang Hidup



Tentang seorang gadis, Shin Tanokura atau Oshin, yang dilahirkan di sebuah keluarga miskin. Atau mungkin lebih pas, sangat miskin. Dengan segala suka dan dukanya sebelum kemudian dia mencapai kesuksesan: menjadi pemilik sebuah jaringan supermarket. Tapi memang hidup tidaklah sederhana. Hidup juga tidak selalu menyediakan jawaban atas semua pertanyaan. Dia harus menempuh jalan yang berliku-liku. Pada usia 7 tahun dia harus membanting tulang, menjadi seorang babysitter untuk membantu keuangan keluarga. Dari sanalah segala penderitaannya diawali. Dituduh mencuri uang dia kabur hingga nyaris mati membeku di tengah hujan salju. Petualangan melodramanya masih berlanjut, dia menjadi pelayan, bekerja di bar, juga menjadi pemotong rambut.

Oshin adalah drama tersukses produksi televisi NHK Jepang, di Indonesia Oshin pernah ditayangkan di TVRI tahun 1983. Aslinya serial ini hanya berdurasi 15 menit dan ditayangkan sebanyak 297 episode. Merupakan adaptasi dari novel yang didasarkan kisah nyata Kazuo Wada, seorang wanita pebisnis yang memiliki Yaohan, sebuah jaringan supermarket. Berseting di jaman Meiji hingga di awal tahun 1980-an. Karena menggunakan rentang waktu yang panjang maka Oshin diperankan oleh tiga orang. Ayako Kobayashi memerankan Oshin saat berumur enam hingga 10 tahun, lalu Tanaka Yuko sebagai Oshin berumur 16-46 tahun dan Otowa Nobuko sebagai Oshin tua.

Selain Indonesia, Oshin juga pernah mengharubirukan 59 negara lain, terutama di negara-negara berkembang di Asia. Bahkan hingga saat ini pun tiap kali Ayako Kobayashi berkunjung ke negara-negara Asia, dia masih mendapat kunjungan hangat di sana. Di Vietman, istilah oshin dipergunakan sebagai eufemisme bagi para pekerja domestik.

Sebelumnya, Oshin sempat menimbulkan polemik bagi masyarakat Jepang. Yakni, ketika negara matahari terbit tersebut sedang giat-giatnya mengintroduksikan perkembangan teknologinya ke seluruh penjuru dunia, dikhawatirkan kehadiran Oshin adalah sungguh sebuah iklan yang buruk. Tak lain karena di serial ini juga terungkap sisi-sisi lain Jepang yang apa adanya. Namun yang terjadi kemudian adalah justru sebuah apresiasi yang luar biasa dari dunia luar. Sebab, ternyata di antara ekspansi teknologi Jepang, masih dijumpai gadis berkimono, upacara minum teh, tatami, atau salju yang turun di pucuk-pucuk sakura. Artinya, Jepang ternyata bisa menjadi sebuah negara maju dengan tetap berpijak pada tradisi luhur peninggalan nenek moyangnya. Artinya, ternyata kemajuan teknologi tetap bisa bersanding dengan budaya bangsa.

Namun demikian, kesuksesan serial Oshin tetap menimbulkan sepercik ganjalan. Sebab gadis lugu sederhana seperti Oshin hanya akan dapat dijumpai di dalam kotak ajaib bernama televisi. Sebab menurut sejumlah survei, di tahun 1980-an, pada saat film ini dirilis, justru ditemukan fakta bahwa masyarakat Jepang mulai dijangkiti penyakit yang ditularkan dari Western, yakni produk kapitalis bernama konsumerisme.

Sekedar ilustrasi, menurut survei sebuah bank, pengantin baru di Jepang rata-rata menghabiskan sekitar Rp 100 juta, mulai dari pesta perkawinan, bulan madu, sampai pembelian tetek bengek perabot rumah tangga. Sementara orang tua di Jepang tak segan-segan mengeluarkan satu juta yen, atau sekitar Rp 12 juta, untuk membeli sehelai kimono bagi anak gadisnya. Pembelian ini dianggap layak, hanya karena anak tetangga sudah lebih dahulu membeli kimono yang semahal itu. Dalam beberapa hal, lagak dan laku orang Jepang dalam dekade 80-an akhir tak banyak beda dari perilaku orang Arab yang kaya mendadak 10 tahun silam. Mereka tidak terbelalak lagi melihat tas golf seharga Rp 3,5 juta, atau sebotol wiski yang harganya Rp 125.000. Bahkan mobil-mobil mahal dari Jerman, seperti BMW 50I, sudah mulai diinden di Jepang dengan harga lebih dari Rp 170 juta. Jangan lupa, harga-harga tersebut adalah di tahun 1980-an.

Menyaksikan Oshin bagaikan membaca sebuah diary. Masih ada pesan lain yang dapat diambil dari Oshin yaitu upaya mengangkat harkat wanita. Maklum, tradisi di negeri itu selama berabad-abad menempatkan wanita hanya sekadar ‘pelengkap’ dalam dunia yang didominasi oleh kaum berotot: pria. Atau meminjam istilah di kampung kita: ‘kanca wingking’. Wanita hanya menjadi pelayan dan lebih ekstrim: penghibur, seperti yang tampil dalam sosok geisha. Namun dalam diri Oshin seperti sebuah pesan yang dititipkan pengarang, wanita yang pantang menyerah dalam mengarungi hidup yang penuh tantangan, untuk kemudian dia berhasil menjadi seseorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar