Senin, 13 Agustus 2012

Rasisme Bahasa Jawa




Bahasa jawa adalah salah satu bahasa yang mengagungkan tingkatan (sepetahuan saya, bahasa Sunda juga demikian, tapi tidak serumit bahasa Jawa). Secara garis besar, bahasa Jawa dibagi dalam tiga tingkatan besar:

   1. Ngoko (tingkatan terendah)
   2. Madya (tingkat menengah); dan
   3. Kromo (tingkat tertinggi). Itu pun masih bisa dibali lagi dalam dalam sub tingkatan:

   1. Andhap (rendah/kasar); dan
   2. Inggil (tinggi/halus).

Tingkatan dan sub tingkatan tersebut menghasilkan kombinasi yang tidak sederhana, njelimet dan sulit dipahami. Bahkan oleh orang jawa sekali pun.


 Ngoko (kasar dan halus) biasanya dianggap sebagai bahasanya masyarakat umum, rendahan, kuli, petani, atau paling banter antar teman karib (itu pun dianggap tidak pantas digunakan oleh kaum ningrat). Kromo digunakan oleh kalangan yang dianggap memiliki kasta tinggi, terdidik, pintar dan waskito. Macam keturunan ningrat, pamong de es be. Madya? Ya, di antara keduanya. Penggunaan sub kategori kasar dan halus pada masing-masing tingkatan memerlukan keahlian yang tidak sederhana.

Bahasa macam mana yang kita gunakan dalam menghadapi seseorang, menunjukkan siapa diri kita. Golongan rendah, atau anak-anak muda harus menggunakan tingkatan bahasa yang lebih tinggi kepada mereka yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya. Semakin tinggi orang yang kita hadapi, semakin tinggi pula bahasa yang kita gunakan. Menghadapi golongan tertinggi, si pengucap harus menggunakan bahasa level tertinggi pula, kromo inggil. Saya tak tahu, apakah ada yang lebih tinggi dari itu. Sebaliknya, semakin tinggi derajat pengucap, dia boleh menggunakan bahasa dengan tingkatan yang lebih rendah kepada lawan bicara yang lebih rendah. Seorang yang berkedudukan tinggi, raja misalnya, boleh-boleh saja menggunakan level bahasa mana saja yang dia mau. Terus terang, pada tingkat aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, saya tidak menguasai. Saya termasuk golongan pengguna boso Ngoko.

Orang jawa yang lihai berbahasa Jawa, terutama dalam tingkatan Kromo, dianggap sebagai manusia berbudaya dan berbudi luhur. Manusia yang tahu roso (halus perasaannya, hal yang sangat penting dalam budaya Jawa), dan bertata-krama. Mereka disebut "Wong Jawa sing njawani", orang Jawa yang hidup secara jawa. Dan itu sebuah kebanggaan tersendiri.

Lantas, apa hubungannya dengan rasisme? Ya itu tadi. Penggunaan dan penguasaan bahasa Jawa menentukan tingkat seseorang. Semakin rendah bahasa yang dikuasai, semakin rendah derajat seseorang. Itulah mengapa, orang-orang tua sering menganggap orang luar Jawa sebagai "kurang tata kramanya". Lebih celaka lagi, orang yang terlahir sebagai Jawa tetapi kurang mengerti bahasa Jawa. "Wong Jawa sing ilang jawane", orang Jawa yang tidak memegang tradisi, begitu mereka disebut. Biasanya, orang Jogja-Solo menganggap dirinya sebagai penutur Jawa kelas satu. Di luar itu, dianggap sebagai penutur kelas dua, tapi masih dengan senyum memaklumi.

Nah, sekarang kita menginjak kelas ketiga. Kelas yang sepertinya selalu jadi bahan olok-olokan. Dialek Banyumasan (dan juga Tegal)!

Bahasa Banyumasan (digunakan masyarakat Banyumas, Cilacap, sebagian Kebumen, Purbalingga, Pekalongan dan sekitarnya) sering dianggap sebagai kelas pinggiran karena pengucapan yang berbeda jauh dari kaidah baku bahasa Jawa. Pelafalannya yang jelas, tegas dan hampir tidak mengenal huruf "O" sebagaimana umumnya pelafalan Jawa, membuat orang Banyumas sangat mudah dikenali, bahkan oleh orang yang tidak paham bahasa jawa. Banyumasan tidak mengenal kelas. Semua penuturnya adalah setara. Tapi justru disitulah cacatnya. "Tidak paham Jawa!", begitu kata sebagian orang. Meski Prof. Damardjati Supadjar pernah berujar: "Bahasa Banyumasan adalah bahasa yang paling jujur dan egaliter dalam khasanah bahasa Jawa", toh beliau tidak mewakili golongan mayoritas.

Cobalah perhatikan. Saat seorang penutur Banyumasan berkenalan dengan penutur Jawa kelas satu, kata pertama yang biasanya hampir pasti terlontar dengan ekspresi menahan tawa adalah: "Oh, ngapak-ngapak?" atau "kowek-kowek ya?". Sebuah introduksi yang jelas menunjukkan ketidak-setaraan. Sekali dua kali, bisa kita anggap biasa saja. Tapi jika hal yang sama anda alami beratus kali, susah untuk tidak merasa rasis dan sakit hati. Setidaknya, begitulah yang selalu saya alami selama bertahun-tahun. Dari ujung Jawa Timur hingga Jakarta sekalipun. Oke, mungkin tidak semuanya. Tapi seringnya perkenalan yang demikian, membuat saya berfikir: "Jangan-jangan mereka menganggap orang Banyumas sebagai masyarakat tidak berbudaya dan primitif? Golongan para badut?".

Saya jadi ingat, teman saya, sebut saja Sudar, yang asli Jogja pernah berkata dengan sinis tentang cewek ayu, cantik dan semlohay yang ditaksirnya tapi kemudian baru dia ketahui sebagai orang asli Banyumas: "Wong ayu kok ngomonge blekuthuk-blekuthuk. Ra sudi aku!".

Nah, lo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar