Konon setelah terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI Harmoko langsung menghadap kepada Presiden Soeharto di suatu malam. Kepada Soeharto dia menyatakan kebingungannya karena sekarang dia harus memanggil Presiden Soeharto dengan sapaan ‘Saudara Presiden’. Sebagai seorang pembantu dekatnya tentu saja Harmoko tidak enak harus memanggil dengan sapaan tersebut. Maka Soeharto pun menjawab “Moko, kamu ndak usah bingung”, kata Soeharto dengan senyumnya. “Kamu boleh saja menyebut daripada aku dengan sapaan ’Saudara Presiden’, Itu sudah seharusnya, dan itu konstitusional. Tapi supaya perasaanmu enak, sebelum kamu mengucapkan ‘Saudara Presiden’ kamu lebih dulu mengucapkan ‘sesuai petunjuk Bapak Presiden’, kan begitu?"
Dan cerita tentang Harmoko banyak beredar di internet. Yaitu cerita tentang salah seorang menteri paling populer di era tahun 1980-an: Menteri Penerangan yang tak henti-hentinya muncul di layar TV justru pada saat para pemirsa sedang tidak mengharapkan kedatangannya. Dia berbicara tentang ini itu. Tentang hasil Sidang Kabinet Terbatas, tentang pembangunan yang sedang digalakkan, tentang harga cabai keriting. Dengan gayanya yang khas, berpakaian selalu rapi, rambut klimis yang tersisir ke belakang, dengan senyum yang misterius (atau culas?) dan mengulang-ulang selalu kalimat yang menjadi trade mark-nya: sesuai petunjuk Bapak Presiden…
Nasi pecel, rempeyek, dan serundeng hanya salah satu dari kegemaran Harmoko yang lahir di Nganjuk, Jawa Timur 7 Februari 1939. Rajin membaca di perpustakaan desa, lepas SMA ia menempuh pendidikan jurnalistik. Lalu ke Jakarta, sebagai wartawan. Bersama beberapa kawannya, Harmoko menerbitkan harian Pos Kota, 1970, sebuah koran yang berisi lebih banyak berita-berita kriminal. Dari sana kemudian terpilih sebagai Ketua PWI, Jaya (1970-1972), dan terpilih sebagai ketua PWI Pusat, selama dua periode, hingga 1983. Dan kedekatannya dengan Soeharto membuat dia terpilih sebagai Menteri Penerangan di masa Kabinet Pembangunan VI.
Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko mendirikan gerakan Kelompencapir (Kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa) yang dimaksudkan sebagai media untuk menyampaikan informasi dari pemerintah. Juga jargon mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Dia juga yang bersemangat melarang beredarnya lagu-lagu yang cengeng: karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Juga di tahun 1990-an Harmoko berperan atas dicabutnya ijin tiga media Tempo, Detik, dan Editor yang memberitakan pembelian kapal bekas asal Jerman itu.
Kedekatannya dengan Soeharto membuat dia dipercaya untuk memimpin Partai Golkar. Menjelang Pemilihan Umum 1997 Harmoko melaporkan kepada Pak Harto. "Bahwa ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto,” kata Harmoko. "Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003," tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu.
Namun ketika di tahun 1998, angin perubahan yang membawa pesan reformasi bertiup, Harmoko yang menjadi Ketua MPR menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak Harto mundur. Kemudian Soeharto mundur, dan keluarga Cendana menganggapnya sebagai Judas.
Dan cerita tentang Harmoko banyak beredar di internet. Yaitu cerita tentang salah seorang menteri paling populer di era tahun 1980-an: Menteri Penerangan yang tak henti-hentinya muncul di layar TV justru pada saat para pemirsa sedang tidak mengharapkan kedatangannya. Dia berbicara tentang ini itu. Tentang hasil Sidang Kabinet Terbatas, tentang pembangunan yang sedang digalakkan, tentang harga cabai keriting. Dengan gayanya yang khas, berpakaian selalu rapi, rambut klimis yang tersisir ke belakang, dengan senyum yang misterius (atau culas?) dan mengulang-ulang selalu kalimat yang menjadi trade mark-nya: sesuai petunjuk Bapak Presiden…
Nasi pecel, rempeyek, dan serundeng hanya salah satu dari kegemaran Harmoko yang lahir di Nganjuk, Jawa Timur 7 Februari 1939. Rajin membaca di perpustakaan desa, lepas SMA ia menempuh pendidikan jurnalistik. Lalu ke Jakarta, sebagai wartawan. Bersama beberapa kawannya, Harmoko menerbitkan harian Pos Kota, 1970, sebuah koran yang berisi lebih banyak berita-berita kriminal. Dari sana kemudian terpilih sebagai Ketua PWI, Jaya (1970-1972), dan terpilih sebagai ketua PWI Pusat, selama dua periode, hingga 1983. Dan kedekatannya dengan Soeharto membuat dia terpilih sebagai Menteri Penerangan di masa Kabinet Pembangunan VI.
Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko mendirikan gerakan Kelompencapir (Kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa) yang dimaksudkan sebagai media untuk menyampaikan informasi dari pemerintah. Juga jargon mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Dia juga yang bersemangat melarang beredarnya lagu-lagu yang cengeng: karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Juga di tahun 1990-an Harmoko berperan atas dicabutnya ijin tiga media Tempo, Detik, dan Editor yang memberitakan pembelian kapal bekas asal Jerman itu.
Kedekatannya dengan Soeharto membuat dia dipercaya untuk memimpin Partai Golkar. Menjelang Pemilihan Umum 1997 Harmoko melaporkan kepada Pak Harto. "Bahwa ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto,” kata Harmoko. "Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003," tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu.
Namun ketika di tahun 1998, angin perubahan yang membawa pesan reformasi bertiup, Harmoko yang menjadi Ketua MPR menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak Harto mundur. Kemudian Soeharto mundur, dan keluarga Cendana menganggapnya sebagai Judas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar